Jika
berbicara tentang pagelaran gamelan atau karawitan, kita mengenal adanya
istilah “Pathet”. Pathet dalam Karawitan adalah pembatasan nada atau
pembatasan permainan nada. Jadi nada itu tidak dimainkan asal-asalan tapi ada
aturan-aturan tertentu. Setiap Pathet itu dikaitkan dengan falsafah kehidupan.
Menurut Pak
Trustho, seorang pengrawit senior, ada tiga macam Pathet yang semuanya
menggambarkan falsafah kehidupan manusia dari lahir sampai mati: Pathet 6,
Pathet 9 dan Pathet Manyuro. Diawali dengan Pathet 6 yang masih sederhana itu
menggambarkan bahwa pada awal kehidupan seseorang pola pikirnya itu masih
sederhana, belum lengkap, belum dalam. Pada Pathet 9 dimana estetika
karawitan, pola garap, pola lagu dan kedalaman rasanya cenderung mulai “menep”
(dalam), menggambarkan seseorang yang sudah beranjak dewasa mulai menghadapi
berbagai masalah yang harus bisa diatasi. Kemudian, Pathet Manyuro yang
sudah matang penggarapan dan permainannya itu menggambarkan masa tua yang sudah
penuh solusi / berpengalaman mengatasi berbagai masalah kehidupannya.
Dalam sebuah
pertunjukkan gamelan (karawitan) sudah ada pembagian wilayah kerja, dari
pemimpin lagu, pemimpin irama hinggapeng-implementasi irama. Semua unsur itu
bekerjasama secara otomatis meskipun tidak ada konduktornya; semua pemain sadar
akan perannya masing-masing. Misalnya: seorang pemain kendang (pengendang),
karena perannya sebagai pemimpin maka ia harus selalu ingat dengan para
pendukungnya (pemangku lagu/ pendukung irama). Ia tidak boleh diktator
mentang-mentang pemimpin lalu dengan seenaknya membuat tempo sehingga pemain
lain “keteteran” tidak bisa mengikuti irama kendangnya. Hal begini tidak
boleh terjadi dalam pertunjukkan gamelan (karawitan). Demikian halnya dengan
para pendukung seperti saron, demung atau instrumen pendukung lain, juga harus
bisa menyesuaikan dengan instruksi yang disampaikan oleh pengendang. Begitu
juga dengan instrumen yang secara struktural bersifat kolotumik seperti Gong
yang mengamini, atau kenong dan kempul yang membagi-bagi kalimat lagu.
Dengan pemahaman
mendalam tentang peran masing-masing maka dalam orkestra gamelan terbangun
“pengendapan rasa”: tidak emosional, tidak sombong, saling menghargai dan
saling melengkapi. Setiap pemain harus sungguh-sungguh bersabar menunggu
gilirannya. Misalnya pemukul gong; gong pasti dipukul lebih lambatdibanding
dengan yang lainnya, tapi pukulan gong selalu ditunggu, dan jika salah pasti
juga akan mendapat kritikan seperti lainnya. Dengan kata lain, bermain musik
gamelan mendidik orang untuk bisa mengelola emosi dan mengendalikan diri.
Gamelan Pusaka
Didalam masyarakat
Indonesia, masih ada sebagian orang yang percaya bahwa gamelan tertentu
memiliki kekuatan gaib. Suara yang dikeluarkan dari alat musik gamelan
seringkali dianggap mempunyai daya magis yang bisa mempengaruhi aura
kehidupan manusia. Gamelan seperti ini biasanya bukan lagi sekedar alat musik
tapi sudah dianggap sebagai pusaka, dan hanya dimainkan pada saat yang sangat
istimewa. Oleh karena keistimewaan itu, gamelan demikian mendapat penghormatan
sama halnya seperti menghormati leluhur dan keris pusaka.
Sebenarnya,
penghormatan seperti kepada leluhur itu tidaklah berlebihan jika kita melihat
dari rasa (roso) dan energi yang terlibat saat sang empu menempa dan membentuk
gamelan itu hingga menghasilkan nada yang begitu indah hingga terkesan magis;
atau saat sang pemilik gamelan itu dahulu sering menumpahkan perasaan dan
pikiran dengan memainkan gamelannya seperti halnya seorang pianis meresap dalam
permainan pianonya.
Sebagai alat musik yang dipandang
memiliki daya magis, gamelan pusaka seringkali digunakan untuk mengiringi
gendhing-gendhing Jawa yang memiliki makna sangat “khusus”, yang seolah
mengandung misteriseperti misalnyagendhing Tunggul Kawung yang konon untuk
“menahan/memindahkan” hujan, atau sebaliknya gendhing Mego Mendhung yang untuk
mendatangkan hujan lebat. Meskipunsemua itu tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah, para pemain gamelan (karawitan)bisa membuktikannya dengan “rasa” yang
mereka miliki.
Sumber: http://desyntacoret.blogspot.com/2011/10/falsafalah-gamelan.html
0 komentar:
Posting Komentar